Panduan Menikah dengan Pasangan yang Sekufu (Bag. 2)
Teks Hadis Pertama
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعضٍ، وَالْمَوَالِي بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعْضٍ، إلَّا حَائِكًا أوْ حَجَّامًا
“Orang-orang Arab, sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain; dan para bekas budak (mawali), sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain, kecuali penenun atau tukang bekam.” [HR. Al-Baihaqi, 7: 134; namun sanad hadis ini dha’if karena sanadnya terputus (munqathi’) dan juga ada perawi yang mudallis]
Syekh Al-Albani rahimahullah berkata,
وجملة القول أن طرق الحديث أكثرها شديد الضعف، فلا يطمئن القلب لتقويتها بها، لا سيما وقد حكم عليه بعض الحفاظ بوضعه؛ كابن عبد البر وغيره، وأما ضعفه فهو في حكم المتفق عليه، والقلب إلى وضعه أميل، لبعد معناه عن كثير من النصوص الثابتة
“Kesimpulannya, sebagian besar jalur periwayatan hadis ini sangat lemah, sehingga hati ini tidak merasa tenang untuk menguatkan hadis ini melalui jalur-jalur tersebut. Terlebih lagi, beberapa ahli hadis telah menyatakan bahwa hadis ini palsu (maudhu’), seperti Ibn Abdil Barr dan lainnya. Adapun status dha’if-nya, hal itu menjadi kesepakatan di kalangan para ulama (ahli hadis). Bahkan, hati ini cenderung untuk menganggapnya sebagai hadis palsu, mengingat maknanya yang jauh bertentangan dengan banyak dalil nash yang sahih lainnya.” [1]
Kandungan Hadis Pertama
Hadis ini menunjukkan adanya pertimbangan kesetaraan (al-kafa’ah) berdasarkan keturunan (nasab), di mana seluruh orang Arab dianggap sama dalam al-kafa’ah; sedangkan para bekas budak (mawali) dianggap setara satu sama lain, tetapi tidak setara dengan orang Arab. Namun, ada pengecualian jika seorang Arab bekerja dalam profesi seperti penenun atau tukang bekam, maka status keturunannya jatuh dan dia tidak dianggap setara dengan perempuan Arab.
Pendapat yang mempertimbangkan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan) adalah pandangan mayoritas ulama (jumhur), sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Namun, pemahaman ini, yang didasarkan pada hadis di atas, itu tidak benar. Karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hadis ini batil dan tidak memiliki dasar yang sahih. Hal ini juga diperkuat oleh dalil lain, seperti kisah setelahnya di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha untuk menikah dengan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, padahal dia adalah bekas budak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan agar Abu Hind dinikahkan, meskipun ia adalah seorang tukang bekam.
Hal ini menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak sahih dan bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Mungkin inilah alasan mengapa al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan hadis ini dalam bab al-kafa’ah ini, kemudian mencantumkan dua hadis setelahnya untuk menunjukkan ketidaksahihannya, karena kedua hadis tersebut menunjukkan bahwa kesetaraan berdasarkan nasab (keturunan) tidaklah dipertimbangkan. Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
لم يثبت في اعتبار الكفاءة بالنسب حديث
“Tidak ada hadis yang sahih tentang mempertimbangan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan).” [2]
Teks Hadis Kedua
Dari Abu Bakar bin Abi Al-Jahm bin Sukhair Al-Adawi, ia berkata,
سَمِعْتُ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ، تَقُولُ: إِنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا ثَلَاثًا، فَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُكْنَى، وَلَا نَفَقَةً، قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي ، فَآذَنْتُهُ، فَخَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ، وَأَبُو جَهْمٍ، وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ، لَا مَالَ لَهُ، وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ، وَلَكِنْ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ» فَقَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا: أُسَامَةُ، أُسَامَةُ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: طَاعَةُ اللهِ، وَطَاعَةُ رَسُولِهِ خَيْرٌ لَكِ ، قَالَتْ: فَتَزَوَّجْتُهُ، فَاغْتَبَطْتُ
“Aku mendengar Fatimah binti Qais berkata, “Sesungguhnya suaminya telah menceraikannya dengan talak tiga, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menetapkan untuknya hak tempat tinggal atau nafkah.” Fatimah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Jika masa idahmu selesai, beritahukanlah kepadaku.”
Maka aku memberitahukannya. Kemudian Mu’awiyah, Abu Jahm, dan Usamah bin Zaid melamarku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah adalah seorang yang miskin, tidak memiliki harta. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang suka memukul wanita. Tetapi (pilihlah) Usamah bin Zaid.”
Fatimah berkata, “Aku memberi isyarat dengan tanganku seperti ini, Usamah, Usamah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya adalah yang terbaik bagimu.” Lalu aku menikah dengannya, dan aku merasa bahagia.” (HR. Muslim no. 1480)
Kandungan Hadis Kedua
Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam hal nasab tidaklah dipertimbangkan, dan diperbolehkan menikahkan seorang wanita Quraisy dengan seorang mantan budak. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, meskipun Usamah tidak sekufu dengannya dalam hal nasab. Fatimah adalah wanita Quraisy, sedangkan Usamah berasal dari golongan mawali (bekas budak). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta Fatimah untuk mengabaikan lamaran dari Mu’awiyah dan Abu Jahm, meskipun keduanya berasal dari kaumnya, sukunya, dan juga dari Quraisy. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan dalam nasab tidaklah menjadi syarat yang dipertimbangkan dalam pernikahan.
Juga terdapat hadis tentang Dhiba’ah binti Zubair, yang menjadi istri dari Miqdad bin Al-Aswad. Dhiba’ah adalah seorang wanita dari Bani Hasyim yang memiliki kedudukan nasab lebih tinggi darinya. Dhiba’ah adalah putri dari paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan Miqdad bukan berasal dari Quraisy.
Pendapat ini adalah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. [3] Ibnu Abi Musa juga meriwayatkan pendapat ini dari Imam Ahmad rahimahullah. [4] Syekh Muhammad bin Utsaimin berkata, “Pendapat inilah yang benar.” [5]
Teks Hadis Ketiga
Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أَنَّ أَبَا هِنْدٍ، حَجَمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْيَافُوخِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا بَنِي بَيَاضَةَ أَنْكِحُوا أَبَا هِنْدٍ وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِ
“Bahwa Abu Hind telah melakukan hijamah (bekam) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di bagian tengah kepala (ubun-ubun). Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Bani Bayadhah, nikahkanlah Abu Hind dan terimalah pernikahan darinya (dengan keluarga kalian).” (HR. Abu Dawud no. 2102, dinilai hasan oleh Al-Albani)
Kandungan Hadis Ketiga
Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam hal nasab dan profesi tidaklah dipertimbangkan dalam pernikahan. Seorang tukang bekam (hajjam) dapat dianggap setara dengan kerabatnya yang bukan tukang bekam. Hal yang sama juga berlaku bagi tukang jagal, tukang sepatu, penyamak kulit, atau profesi lain yang dianggap rendah oleh sebagian orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menikahkan Abu Hindin, meskipun ia adalah seorang mantan budak dan pekerjaannya adalah tukang bekam. Pekerjaan ini pada zaman mereka dianggap sebagai pekerjaan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa hadis sebelumnya yang menyatakan sebaliknya (yaitu hadis pertama) adalah batil.
Al-Khathabi rahimahullah berkata,
في هذا الحديث حجة لمالك ولمن ذهب مذهبه في أن الكفاءة بالدين وحده، دون غيره
“Hadis ini menjadi hujah bagi Imam Malik dan mereka yang mengikuti pendapatnya, yaitu bahwa al-kafa’ah hanya dinilai dari agama, bukan yang lainnya …’ [6]
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata,
ومعلوم أن الحجامة، والدباغة، والحياكة، والحدادة فيها مصالح عظيمة للمسلمين، فالذي يقوم بها جدير بأن يشكر لا بأن يهمل، فإهماله وعدم تزويجه معناه التنفير عن هذه المهن النافعة للناس، فكما أنَّه غَلَظ في الحكم هو غلط في المعنى …
“Sudah diketahui bahwa profesi seperti tukang bekam, penyamak kulit, penjahit, dan pandai besi membawa manfaat besar bagi umat Islam. Orang-orang yang menjalani profesi ini seharusnya diberi penghargaan, bukan diabaikan. Mengabaikan mereka dan menolak menikahkan mereka sama saja dengan mengurangi motivasi untuk menjalani profesi-profesi bermanfaat ini. Sebagaimana ini adalah kekeliruan dalam hukum, ini juga merupakan kekeliruan dalam makna …”
[Bersambung]
***
@5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Al-Irwa’, 6: 270.
[2] Fathul Baari, 9: 132.
[3] Al-Inshaf, 8: 108.
[4] Al-Irsyad, hal. 268.
[5] Ta’liq (komentar) beliau terhadap kitab Ar-Raudh Al-Murbi’, hal. 517.
[6] Ma’alim As-Sunan, 3: 44.
Artikel asli: https://muslim.or.id/103339-panduan-menikah-dengan-pasangan-yang-sekufu-bag-2.html